Rabu, 04 November 2015

Kompromi Dengan Suami Bagai Menjinakkan Singa



dr. Sari Kusumawati


dakwatuna.com – “Tensinya mendingan ini Pak, obatnya jangan distop dulu. Istirahat yang cukup, hindari stress…”, ujar saya setelah memeriksa tekanan darahnya. Lalu sambil merapikan alat pemeriksaan, saya berikan edukasi itu.

“Susah Dok menghindari stress. Lha istri saya itu, kerjaannya ngomel melulu, ngomelin anak. Padahal kan bukan begitu caranya ngasih tau anak,” jawab lelaki usia 40-an ini santai.
Saya jadi senyum cekikikan, “Gitu ya Pak, enaknya gimana supaya ga perlu diomeli? Cowok ya?” sambung saya, sambil menulis resep, dan teringat akan anak lelaki sulung saya. Ah, mudah-mudahan saya tidak jadi ibu pengomel anak kelak.

“Iya, cowok, udah SMU. Ya gimana lah, disayang dulu, diimingi yang dia mau gitu biar nurut,” sambungnya.
Waktu itu anak saya baru satu, masih TK, dan manis sekali mengikuti semua anjuran saya. Khawatir juga jika kelak jika dia beranjak remaja dan mulai tidak mematuhi saya. Seperti keluhan beberapa teman tentang anak remajanya yang kadang bolos sekolah diam-diam, atau menghabiskan uang sekolahnya untuk main rental PS.

Lalu saya teringat tentang kisah seorang wanita yang menyerah atas suaminya yang begitu sulit diajak berkompromi. Jika dibantu urusan pekerjaan, sang suami tersinggung. Jika sang istri minta pendapat, dijawab dengan ketus. Tiada hari tanpa perdebatan panjang. Mereka bagai kucing dan tikus. Kini sang suami sedang bertugas ke luar kota selama sebulan, makin jauhlah mereka. Lalu si istri ini mengadu pada seorang ustadz.

“Kebetulan, aku punya seekor singa di kandang belakang rumahku. Pawang yang biasa merawatnya sedang sakit. Nah, sebulan ini, kau saja ya yang pelihara singaku. Jika sudah sebulan, baru kuberi tahu bagaimana kau menjaga keutuhan rumah tanggamu..”, ujar sang ustadz.

Wanita itu protes, “Tapi ustadz, apa hubungannya singa itu dengan suamiku? Ini tidak relevan..”

“Tidak usah banyak protes. Jika kau minta nasehat dariku, kerjakan dulu tugasmu. Usahakan singaku mau makan, dan tetap sehat bulan depan. Bulan depan baru temui aku lagi, aku sedang banyak urusan bulan ini,” tegas sang ustadz.

Maka, sang wanita berpikir keras. Setiap hari ia datangi kandang singa itu. Singa tetap galak mengaum. Lama-lama, setiap hari dia tak hanya datang dengan tangan kosong, dibawanya makanan untuk singa. 

Mula-mula sehari sekali, lama-lama sehari dua kali. Mula-mula, singa mengaum keras ganas jika ia memberi makan. Lama-lama, singa diam saja lalu mengaum pelan tanda menyambut kehadirannya.

Semakin lama, singa tanpa perlu dipanggil langsung mendekati ke arah datangnya si wanita, begitu mendengar langkah kakinya. Dalam sebulan, singa pun tak pernah lagi mengaum ganas. Sang raja hutan ini bahkan diam saja ketika si wanita mengelus kepalanya, ia bahkan menikmati elusan itu.

Sang ustadz mengamati perkembangan itu diam-diam. Tepat sebulan, ia mengajak wanita itu berdiskusi.
“Jadi, apa yang harus aku lakukan agar suamiku baik lagi padaku?” tanya si wanita.

“Jika singa saja yang tidak bisa berbicara bisa kau tundukkan, masa suamimu tidak bisa? Kembalilah pada suamimu, sesungguhnya menundukkan dia lebih mudah daripada menundukkan singa..” jawab sang bijak. Sang wanita tertegun, namun segera tersadar dan pamit berlalu.

Jika singa ganas saja bisa ditundukkan oleh manusia, apalagi anak kandung usia remaja yang sejak dalam kandungan sudah berikatan batin dengan ibunya? Pasti ada jalan, pasti ada solusi yang baik, ketika ada kemauan dan tekad yang kuat. (sari/dakwatuna)

Redaktur: Samin B
dikutip dari Dakwatuna.com

Tidak ada komentar:

Posting Komentar