Keputusan itu
“sederhana” saja, bukan ungkapan yang berbelit-belit serta bertele-tele. Tidak
rumit dan sulit dipahami. Nabi Saw telah memutuskan untuk Ka’ab, “Kalau begitu,
tidak salah lagi. Kini, pergilah kau sehingga Allah menurunkan keputusan-Nya
kepadamu!” Itulah keputusan qiyadah.
Cukup jelas bagi
Ka’ab, maka ia tidak perlu bertanya lagi apa maksud kalimat Nabi tersebut.
Sebagai mujahid, sebagai kader, ia sangat memahami keputusan itu. Pergi dari
hadapan Nabi Saw, dan menunggu wahyu Allah untuk memberikan keputusan atas
kesalahan Ka’ab. Itu saja. Tapi, apakah itu sederhana untuk dilakukan ? Tidak.
Ternyata pelaksanaannya sangat menyakitkan.
Argumen Pembelaan
Pengakuan dan
kejujuran telah disampaikan oleh Ka’ab di hadapan Nabi Saw. Tidak ada yang ditutupi,
ia telah mengatakan kondisi yang sebenarnya. Keputusan juga sudah disampaikan
oleh Nabi, maka tinggal melaksanakan keputusan tersebut. Ka’ab pun pergi,
meninggalkan Nabi Saw.
“Aku pun pergi
diikuti oleh orang-orang Bani Salamah. Mereka berkata : Demi Allah. Kami belum
pernah melihatmu melakukan dosa sebelum ini. Kau tampaknya tidak mampu
membuat-buat alasan seperti yang lain, padahal dosamu itu sudah terhapus oleh
permohonan ampun Rasulullah!”
Orang-orang Bani
Salamah tampak berusaha memberikan pembelaan dan penguatan hati kepada Ka’ab.
Mereka mengingatkan, betapa lugunya engkau wahai Ka’ab. Mengapa engkau tidak
pandai membuat alasan, seperti delapan puluh orang lainnya ? Bukankah alasan
mereka semua diterima oleh Nabi ? Bahkan Nabi memintakan ampunan untuk mereka
semua ? Lalu apa yang engkau takutkan untuk membuat-buat alasan ? Jika Nabi
memintakan ampun, pasti Allah akan mengampunimu.
Begitulah
orang-orang Bani Salamah memprovokasi Ka’ab. Mereka merasa lega telah mendapat
permakluman Nabi Saw. Mereka merasa lebih lega lagi karena dimintakan ampunan
oleh Nabi Saw. Logis sekali apa yang mereka kemukakan, seakan-akan itu logika
yang benar dan bisa diterima. Ka’ab sempat dibuat bimbang oleh omongan
orang-orang Bani Salamah.
“Mereka terus
saja menyalahkan tindakanku itu hingga ingin rasanya aku kembali menghadap
Rasullah saw untuk membawa alasan palsu, sebagaimana orang lain melakukannya”.
Rasa gelisah dan
bimbang kembali menyerang hati Ka’ab. Kata-kata pembelaan dari orang-orang Bani
Salamah terasa logis dan masuk akal. Sembari pergi meninggalkan majelis Nabi
Saw, Ka’ab merasa perlu menimbang lagi “kepolosannya” tadi. Mengapa tidak
membuat-buat alasan palsu kepada Nabi ? Toh kenyataannya delapan puluh orang
membuat-buat alasan dan diterima oleh beliau, mengapa aku tidak ikut melakukan
hal yang sama?
Apakah perlu
kembali ke majelis Nabi Saw untuk membawa alasan palsu ? Haruskah itu
dilakukannya ?
Ada Murarah dan Hilal, Keduanya Ahlul Badar
Ternyata tidak
hanya Ka’ab yang datang dengan kepolosan dan kejujuran di hadapan Nabi Saw. Di
tengah kebimbangan akibat diprovokasi orang-orang Bani Salamah, muncul
keingintahuan Ka’ab, apakah ada yang “senasib” dengan dirinya.
“Aku bertanya
kapada mereka, ‘Apakah ada orang yang senasib denganku?’
Mereka menjawab,
‘Ya! Ada dua orang yang jawabannya sama dengan apa yang kau perbuat. Mereka
berdua juga mendapat keputusan yang sama dari Rasulullah sebagaimana keadaanmu
sekarang!”
“Aku bertanya
lagi, ‘Siapakah mereka itu?’ Mereka menjawab, ‘Murarah bin Rabi’ah Al-Amiri dan
Hilal bin Umayah Al-Waqifi’. Mereka menyebutkan dua nama orang shalih yang
pernah ikut dalam perang Badr dan yang patut diteladani. Begitu mereka
menyebutkan dua nama orang itu, aku bergegas pergi menemui mereka”.
Ternyata, ada
tiga orang mujahid yang tidak berangkat ke Tabuk. Bukan hanya Ka’ab seorang.
Murarah dan Hilal ternyata juga absen, tidak berangkat ke Tabuk bersama Nabi
saw dan para sahabat. Padahal Murarah dan Hilal, keduanya ahlul Badar, veteran
perang Badar yang mendapatkan kemuliaan khusus dari Allah.
Lengkap sudah
sejarah kemanusiaan. Ketidakberangkatan ternyata terjadi pada tokoh-tokoh yang
menjadi panutan dalam sejarah keemasan Islam. Seakan Allah ingin menunjukkan
kepada kita semua, bahwa mereka semua adalah manusia biasa, yang juga memiliki
sifat-sifat kemanusiaan yang utuh. Mereka bukan malaikat yang tidak memiliki
opsi untuk melakukan dosa dan kesalahan. Sifat kemanusiaan bisa muncul pada
siapa saja, dan pada kondisi apa saja. Termasuk pada mujahid sekaliber Ka’ab,
Murarah dan Hilal.
Senior yang Bersalah tetap Dihukum
Tentu saja bukan
menjadi pembenaran bagi kita untuk melakukan dosa dan kesalahan. Namun ingin
memberikan catatan, bahwa dosa dan kesalahan bisa saja dilakukan oleh orang
senior, yang jasanya sangat banyak dalam dakwah. Karena mereka juga manusia
biasa, yang tidak akan luput dari khilaf. Namun harus diingat pula, kesalahan
mereka tidak dimaafkan begitu saja. Ada hukuman khusus yang diberikan kepada
mereka bertiga, justru karena mereka adalah mujahid, justru karena mereka bukan
“kader biasa”.
Untuk delapan
puluh orang lainnya yang membawa alasan palsu dan membuat sumpah palsu di
hadapan Nabi saw, beliau cepat menerima dan memintakan ampunan kepada Allah.
Namun kepada ketiga orang mujahid tersebut, ada perlakuan khusus. Kendatipun
telah banyak jasa mereka, kendati telah setia mengikuti berbagai macam
peperangan selama ini, kendati telah banyak kontribusi bagi pergerakan dakwah,
namun kesalahan harus tetap mendapatkan hukuman.
Dan ketiga
mujahid itupun rela menerima keputusan hukuman. Mereka tidak protes, “Mengapa
Nabi tidak menghukum delapan puluh orang yang membuat-buat alasan palsu itu?”
Mereka tidak berontak, “Mengapa orang yang jujur justru dihukum, dan orang yang
bohong tidak mendapat hukuman?” Mereka bertiga menerima keputusan dari qiyadah,
menjadi pertanda bahwa memang mereka benar-benar mujahid sejati.
Mereka
benar-benar kader yang setia.
(Bersambung)
Oleh : Cahyadi
Takariawan
Tidak ada komentar:
Posting Komentar