dr. Sari Kusumawati
dakwatuna.com – “Tensinya mendingan ini Pak, obatnya jangan distop dulu.
Istirahat yang cukup, hindari stress…”, ujar saya setelah memeriksa tekanan
darahnya. Lalu sambil merapikan alat pemeriksaan, saya berikan edukasi itu.
“Susah Dok menghindari stress. Lha
istri saya itu, kerjaannya ngomel melulu, ngomelin anak. Padahal kan bukan
begitu caranya ngasih tau anak,” jawab lelaki usia 40-an ini santai.
Saya jadi senyum cekikikan, “Gitu ya
Pak, enaknya gimana supaya ga perlu diomeli? Cowok ya?” sambung saya, sambil
menulis resep, dan teringat akan anak lelaki sulung saya. Ah, mudah-mudahan
saya tidak jadi ibu pengomel anak kelak.
“Iya, cowok, udah SMU. Ya gimana
lah, disayang dulu, diimingi yang dia mau gitu biar nurut,” sambungnya.
Waktu itu anak saya baru satu, masih
TK, dan manis sekali mengikuti semua anjuran saya. Khawatir juga jika kelak
jika dia beranjak remaja dan mulai tidak mematuhi saya. Seperti keluhan
beberapa teman tentang anak remajanya yang kadang bolos sekolah diam-diam, atau
menghabiskan uang sekolahnya untuk main rental PS.
Lalu saya teringat tentang kisah
seorang wanita yang menyerah atas suaminya yang begitu sulit diajak
berkompromi. Jika dibantu urusan pekerjaan, sang suami tersinggung. Jika sang
istri minta pendapat, dijawab dengan ketus. Tiada hari tanpa perdebatan
panjang. Mereka bagai kucing dan tikus. Kini sang suami sedang bertugas ke luar
kota selama sebulan, makin jauhlah mereka. Lalu si istri ini mengadu pada
seorang ustadz.
“Kebetulan, aku punya seekor singa
di kandang belakang rumahku. Pawang yang biasa merawatnya sedang sakit. Nah,
sebulan ini, kau saja ya yang pelihara singaku. Jika sudah sebulan, baru kuberi
tahu bagaimana kau menjaga keutuhan rumah tanggamu..”, ujar sang ustadz.
Wanita itu protes, “Tapi ustadz, apa
hubungannya singa itu dengan suamiku? Ini tidak relevan..”
“Tidak usah banyak protes. Jika kau
minta nasehat dariku, kerjakan dulu tugasmu. Usahakan singaku mau makan, dan
tetap sehat bulan depan. Bulan depan baru temui aku lagi, aku sedang banyak
urusan bulan ini,” tegas sang ustadz.
Maka, sang wanita berpikir keras.
Setiap hari ia datangi kandang singa itu. Singa tetap galak mengaum. Lama-lama,
setiap hari dia tak hanya datang dengan tangan kosong, dibawanya makanan untuk
singa.
Mula-mula sehari sekali, lama-lama sehari dua kali. Mula-mula, singa
mengaum keras ganas jika ia memberi makan. Lama-lama, singa diam saja lalu
mengaum pelan tanda menyambut kehadirannya.
Semakin lama, singa tanpa perlu
dipanggil langsung mendekati ke arah datangnya si wanita, begitu mendengar
langkah kakinya. Dalam sebulan, singa pun tak pernah lagi mengaum ganas. Sang
raja hutan ini bahkan diam saja ketika si wanita mengelus kepalanya, ia bahkan
menikmati elusan itu.
Sang ustadz mengamati perkembangan
itu diam-diam. Tepat sebulan, ia mengajak wanita itu berdiskusi.
“Jadi, apa yang harus aku lakukan
agar suamiku baik lagi padaku?” tanya si wanita.
“Jika singa saja yang tidak bisa
berbicara bisa kau tundukkan, masa suamimu tidak bisa? Kembalilah pada suamimu,
sesungguhnya menundukkan dia lebih mudah daripada menundukkan singa..” jawab
sang bijak. Sang wanita tertegun, namun segera tersadar dan pamit berlalu.
Jika singa ganas saja bisa
ditundukkan oleh manusia, apalagi anak kandung usia remaja yang sejak dalam
kandungan sudah berikatan batin dengan ibunya? Pasti ada jalan, pasti ada
solusi yang baik, ketika ada kemauan dan tekad yang kuat. (sari/dakwatuna)
Redaktur:
Samin B
dikutip
dari Dakwatuna.com
Tidak ada komentar:
Posting Komentar